Buttu Dakka, demikian nama kampung itu disebut-sebut. Udaranya sejuk, di pagi hari embun tampak bagai berlian berkilau di dedaunan yang masih menghijau. Saat musim buah tiba, perkampungan akan terlihat sepi, anak-anak lebih memilih bermain di kebun sambil menunggu buah mangga jatuh diterpa angin. Pun demikian saat panen tiba, mereka lebih suka bermain di sawah sambil menunggu hasil penjualan gabah buat jajan sekolah.
Kenangan diakhir tahun 90-an itu kerap hadir dalam lamunan generasinya. Jika ada yang mengatakan, salah satu pekerjaan terberat di dunia adalah menghapus kenangan masa lalu, mungkin demikian halnya dengan kampung kecil yang berada di bagian selatan Kota Wonomulyo itu. Masa lalunya begitu kuat membekas dalam ingatan generasinya hingga saat ini.
Meski secara administrasi, Buttu Dakka adalah nama sebuah dusun di Desa Dakka, Kecamatan Tapango, namun tidak bisa dimungkiri, Buttu Dakka jauh lebih familiar ketimbang nama desanya sendiri. Bahkan orang-orang luar Buttu Dakka, seperti warga Sugiwaras, Mandar Baru dan Jambu Malea lebih memilih menyebut Buttu Dakka ketimbang desanya saat memperkenalkan diri.
Hal itu wajar, sebab sejak dahulu wilayah ini sudah dikenal banyak orang, bahkan konon orang-orang Belanda menyebut Buttu Dakka sebagai Buttu Turi’ (Gunung Turi’). Turi adalah nama tetua kampung orang-orang Dakka yang sekaligus berprofesi sebagai juru kunci gunung setinggi 51 mdpl itu, wafat sekitar 60 tahun lalu.
Buttu Dakka berasal terambil dari dua kata, yakni “Buttu” yang berarti Gunung, sementara “Dakka” menurut penuturan tetua kampung setempat berasal dari kata madakka yang berarti surut, kering, haus. Konon wilayah ini, dulunya adalah lautan luas, namun seiring perkembangan waktu, perlahan-lahan airnya menyurut, sehingga disebut madakka yang kemudian belakangan menjadi nama perkampungan dan suku, yakni Dakka.
Untuk ukuran Kabupaten Polewali Mandar, penduduk Buttu Dakka boleh dibilang cukup beragam, selain suku Dakka, juga terdapat suku Mandar dengan beragam dialek, Bugis, Toraja, Jawa, Pattae, Pannei dan Makassar. Keragaman etnis itu tak hanya menjadi penanda kekayaan budaya dan tradisinya, tapi juga alamnya yang subur.
Imam Lapeo, salah seorang Ulama Besar di Tanah Mandar menyebutnya sebagai kampung mabbarakka na massalama (kampung yang diberkahi dan penuh keselamatan). Selain tanahnya subur, gunung Dakka juga dihuni Jin-jin baik. Pernyataan Imam Lapeo itu, konon disampaikan saat beliau berdiri di ujung jembatan buatan Belanda, tak jauh dari kaki Gunung Dakka saat itu.
Hingga akhir tahun 90-an, kepercayaan warganya terhadap hal-hal yang sifatnya mistik masih cukup kuat. Kelapa muda dan gula merah masih kerap ditemukan di sudut jembatan dan pinggir kali, warga setempat menyebutnya pappasoro (menyudahi). Ritual ini umumnya dilakukan jika ada sanak saudara atau keluarganya terkena gangguan mahluk halus, atau baru pulih dari penyakit tertentu.
Ritual yang hampir sama juga seringkali diketemukan di ujung jembatan, tepatnya di kaki Buttu Dakka yang dianggap keramat oleh warga setempat. Di lokasi itu, ritual-ritual tertentu seringkali dilakukan, salah satunya adalah ritual pelepasan nazar sambil berdoa dan melepas ayam atau kambing. Ritual semacam ini seringkali dinantikan oleh warga setempat, tak terkecuali anak-anak, sebab mereka akan berburu ayam atau kambing.
Demikian pula, praktik ritual tara’ (duduk bersila sambil bertapa) juga sering dilakukan di lokasi tersebut. Selain untuk memperdalam ilmu gaib (mistik), tara’ juga untuk memenangkan undian lotre. Ritual ini marak dilakukan saat SDSB atau Porkas eksis di zaman Orde Baru.
Meski demikian, ritual ini tidak berumur pajang, setelah pohon asam dan mangga di lokasi tersebut ditebang untuk kepentingan proyek di akhir tahun 90-an, perlahan-lahan ritual semacam ini mulai ditinggalkan, pada saat yang sama, nuansa mistis dan sakralitas wilayah ini pun perlahan mulai meredup. Karena lokasinya tak lagi dianggap sakral, belakangan lokasi sekitar ritual kerap dijadikan tempat mesum oleh pasangan muda-mudi yang belum menikah.
Lokasinya memang lumayan strategis, selain gelap, juga sepi karena jauh dari pemukiman warga. Praktik asusila yang umumnya dilakukan orang-orang luar Buttu Dakka itu, tidak jarang membuat warga setempat berang, selain mengotori kampung, juga membuat kampung gampang terkena wabah dan bencana. Dalam kenyakinan masyarakatnya, wabah tersebut tidak hanya berdampak pada manusia, tapi juga tanaman.
Atas dasar itulah, sebagian warganya beranggapan bahwa gagal panen yang terjadi beberapa dekade terakhir tak lain dampak dari perilaku terselubung itu, dan semenjak itu pula, Buttu Dakka mulai kehilangan auranya. Jika dulu, wilayah ini dikenal sebagai daerah subur, tampaknya itu hanya akan menjadi cerita masa lalu. Saat ini, tanahnya terkesan “kikir”, seolah tak mau lagi berbagi dengan tuannya. Sementara, proyek modernisasi pertanian yang pernah dicanangkan Orde Baru justru tak kunjung memperbaiki nasib generasinya.
Demi sesuap nasi, sebagian dari mereka terpaksa harus meninggalkan kampung halaman, merantau ke berbagai daerah, bahkan ada yang sampai ke luar negeri, sebagian lagi bertahan hidup dengan bekerja semrawut. Sementara bagi mereka yang punya lahan pertanian, disulap menjadi tempat peternakan burung walet. Baginya, bisnis saran burung walet jauh lebih menjanjikan ketimbang bertani. Akibatnya, sawah-sawah yang dulunya kerap menampilkan semangat hidup, kini telah beralih fungsi menjadi bangunan beton bertingkat untuk sarang burung walet.
Demikian pula, daerah yang dulunya penuh dengan cerita mistik itu perlahan-lahan berubah menjadi cerita industri dengan sejuta imajinasi yang menjanjikan. Cerita industrialisasi ini massif seiring dengan meredupnya tatanan nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya, bahkan tanpa disadari imajinasi tentang industrialisasi itu bisa saja menjadi bencana kehidupan.
Kekhawatiran seperti ini sebenarnya bukanlah cerita baru, sebab jauh sebelumnya, almarhum Mudarwin, Camat Wonomulyo (2004-2006) telah mewanti-wanti akan hal ini. Ia mengatakan, bencana kelaparan akan mengintai manusia jika tidak segara sadar lingkungan. Kelaparan itu terjadi bukan karena tidak adanya uang, tetapi disebabkan karena sumber-sumber pangan mulai beralih fungsi menjadi lahan pemukiman dan gedung-gedung bertingkat. “Uang banyak, tapi tidak ada penjual beras,” katanya saat itu.
Ungkapan yang hampir sama juga pernah dikemukakan oleh pejuang kemanusiaan India, Mahatma Gandhi, ia mengatakan “Alam ini mampu memberi apa yang menjadi kebutuhan manusia, tapi tidak dengan keserakahannya”. Membiarkan manusia mengelola alam dengan tidak memperdulikan dampaknya sosialnya tentunya tak hanya memperpendek umur kesuburan dan kekayaan alam, tapi juga akan menyisakan kesengsaraan hidup rakyat dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Hal ini penting direnungkan, mengingat era sekarang, nalar ekonomi lebih dominan dalam menentukan segala sesuatu. Menurut Alwi Rachman, salah satu bahaya dari hasil demokrasi adalah munculnya pelaku ekonomi koboy yang mengambil semua sumber daya ekonomi dari alam, dan membuang sampah-sampahnya kembali ke alam. Jika ini tidak dihentikan, kata Alwi, bumi akan mengalami hibernasi dan bergolak secara luar biasa.
Suaib A Prawono, Warga Buttu Dakka/Pekerja Sosial