Minggu malam, sekitar pukul 19.30 waktu di jam tanganku. Karena kehabisan rokok saat di Kantor Lembaga Inspirasi dan Advokasi Rakyat (LIAR) Sulbar, saya bergegas ke sebuah warung kelontong untuk membeli rokok.
Hanya butuh tiga menit saya tiba disebuah warung yang memang tak jauh dari kantor: jaraknya sekitar 30 meter, letaknya tepat berada di tengah kampung
Disana, saya bertemu dengan seorang pembeli lain, perempuan paruh baya dengan seorang anak digendongnya juga sedang berbelanja di warung tersebut.
Sesuatu yang tak pernah kubayangkan tiba-tiba saja terjadi, tanpa sebab, ibu itu melangkah menjauhkan diri dari saya, seperti sedang ketakutan.
Sekitar tiga detik perempuan paruh baya tersebut menatap wajah saya, yang memang bukan warga dari kampungnya.
“orang manaki, tinggal dimanaki,” tanya ibu tadi sambil tertunduk malu, dengan melempar sedikit senyum.
“Saya tinggal dibelakang bu,” jawabku agar suasana tidak menjadi kaku.
Saya menatap wajahnya, raut ketakutan dan was-was sangat jelas terlihat, seketika saya berfikir ini dampak penyebaran covid 19.
Oleh ibu itu saya dibiarkan berbelanja duluan, meskipun dia yang datang lebih dahulu.
Sambil menggendong anaknya, ibu tadi mundur lagi beberapa langkah kebelakang, berbincang dengan seorang pembeli yang juga baru datang.
“Ndak ditaukan ini sekarang, itu virus korona semakin menyebar mi,”
Suara ketus, sangat jelas terdengar ditelinga ku, bikin saya merasa kesal sendiri dengan ungkapan itu. Rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan warung itu.
Selang beberapa menit, rokok yang ingin saya beli sudah ditangan, segara saya bergegas meninggalkan warung yang berukuran sekitar tiga kali tiga meter persegi.
Dalam perjalanan pulang rasa kesal jelas berkecamuk dalam dalam hati. Hati dan pikiranku tidak mampu menterjemahkan baik keadaan yang baru saja saya alami. Perkataan ibu tersebut terus terngiang-ngiang di telinga saya.
Walau begitu hal itu berusaha saya maklumi, karena saya memang orang asing di kampungnya. Dengan kondisi ditengah penyebaran covid 19 yang tak kunjung memberi kabar baik, ketakutan sangat jelas menyelimuti masyarakat sekitar.
Walaupun sudah ada himbauan dari pemerintah, itu tidak cukup untuk menghilangkan kekhawatiran dan ketakutan akan wabah covid-19 itu. Olehnya dengan mengisolasi diri dan tetap waspada dengan orang baru itu salah satu cara agar mereka bisa merasa sedikit lebih tenang.
“Wajar saja jika ibu tersebut was-was kepada saya” gerutu ku dalam hati untuk menghilangkan rasa kesal.
Seketika ingatan ini tertuju kepada orang-orang yang terdiagnosis terpapar covid 19, ternyata seperti ini rasanya dijauhi oleh orang-orang sekitar.
Saya yang tidak ada gejala terjangkit covid 19 dijauhi hanya karena orang asing, merasa sakit, lantas bagaimana dengan mereka yang namanya masuk kedalam daftar ODP, PDP dan sudah dinyatakan Positif, mereka pasti akan sangat terbebani.
Pikirku, mereka betul-betul kuat melalui hal tersebut, belum selesai dengan covid 19 yang pasti membuat mereka sangat takut, beban tersingkirkan dari orang-orang sekitar pasti akan semakin memberatkan.
Pengalaman ini saya tulis bukan karena merasa kesal perihal perlakuan tersebut, itu bisa menjadi hal wajar ditengah serangan pandemi covid 19 ini.
Namun hal ini saya tujukan untuk saudara-saudara saya yang namanya masuk kedalam daftar ODP, PDP dan dinyatakan positif bahwa kalian tidak sendiri, dukungan itu akan selalu ada dan do’a-do’a untuk kesembuhan kalian akan terus mengalir.
Lawan Virusnya, Orangnya Jangan!
Oleh: Muammar khadafi activist local culture and knowledge di Lembaga Inspirasi dan Advokasi Rakyat (LIAR) Sulbar