Media Platform Baru Sulawesi Barat

LKD Mesti Menjadi Trigger di Masyarakat

0 439

TELEGRAPH.ID, BANDUNG – Dua pemateri ulang dihadirkan Direktorat Jenderal PPMD Kemendesa di kegiatan “Penguatan LKD Dalam Mendorong Partisipasi Masyarakat Dalam Pengendalian Pencemaran Lingkungan” yang dilaksanakan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/7/2019).

Kedua pemateri bergelar doktor ini sengaja didatangkan untuk sharing ilmu dan referensi dengan jajaran Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD), kepala desa, dan pendamping desa sebagai peserta.

Kedua pemateri yakni Dr Agus Supriyadi Harahap M.Si dan Sutiyo M.SI.,Ph.D. Saat ini Agus maupun Sutiyo sama-sama berstatus sebagai tenaga pengajar di IPDN Jatinangor, Jawa Barat.

Agus Supriyadi Harahap dalam materinya berjudul Kelembagaan Desa, menekankan beberapa hal mendasar tentang LKD. Menurutnya, LKD terbagai dalam dua kategori. Ada LKD formal dan ada LKD non formal.

Sebagaimana yang telah diketahui secara luas oleh masyarakat, LKD formal terdiri dari RT/RW, Karang Taruna, LPM, TP-PKK. Sedangkan LKD non formal sangat banyak, seperti LKD berbasis budaya, aktivitas atau rutinitas, maupun berbasis agama.

“LKD sangat strategis perannya dalam mendorong keterlibatan masyarakat dalam setiap program pembangunan dan pemberdayaan di desa. Untuk itulah, LKD mesti memberi sumbangsih yang besar sebagai mitra kerja pemdes dan BPD,”gugah Agus di hadapan peserta kegiatan.

Dulunya di desa, lanjut Agus, apalagi desa yang potensi SDA-nya pertanian dan perkebunan, ada LKD yang mengurusi pembagian air. Di sana berhimpun tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga tokoh pemuda. Pembagian air diatur ke sawah dan kebun-kebun warga desa. Sistemnya adil dan merata yang disepakati melalui musyawarah mufakat dalam penentuan jadwal giliran. Model seperti ini, sebut Agus, sangat kaya dengan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan.

“Negara kita ini memiliki budaya dan tradisi yang mengakar. Sarat dengan nilai luhur Pancasila,”papar Agus.

LKD ada di masyarakat sejak desa belum terbentuk, dan bahkan kala republik ini belum terbentuk. Terutama LKD-LKD non formal. Berangkat dari situlah sehingga dibentuk LKD formal. Dan melalui LKD, partisipasi masyarakat tumbuh dalam perencanaan pembangunan yang berbasis sosial.

Seperti salah satu tradisi di Sumatera Utara yang dikenal dengan Lubuk Larangan. Yaitu tradisi menangkap ikan ramai-ramai (pesta) di sungai dengan memakai jaring atau jala. Pada 2012 lalu, cerita Agus, diadakan kegiatan Lubuk Larangan oleh desa setempat. Sebelum tiba hari H, ikan sudah dikembangbiakan di sungai setahun sebelumnya. Setiap masyarakat yang menjadi peserta, diminta membeli tiket Rp.50 ribu per orang.

“Pesertanya ribuan orang dan umumnya diadakan di hari libur lebaran. Ikan yang berhasil masuk jaring, dimasak bersama di dekat sungai, lalu dimakan bersama. Sebagian ikan lagi dibawa pulang ke rumah,”kenangnya.

Dari tradisi budaya ini, terkumpul dana Rp.600 juta. Dana itu kemudian dibangunkan rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya di desa setempat. Makna dari pesta tangkap ikan, tambah Agus, bagaimana menciptakan budaya yang menjadi hiburan sekaligus membangun desa.

“Model pembangunan begini yang mesti dipertahankan di desa-desa, termasuk di Jawa Barat. Silakan LKD menjadi trigger-nya (pemicu),” sarannya. Peran LKD dapat melestarikan nilai-nilai budaya. Jika ini terjadi, gejolak-gejolak sosial di masyarakat semakin berkurang.

Hal yang tidak berbeda jauh disampaikan Sutiyo. Materi doktor satu ini berjudul Pemberdayaan Desa Berbasis Lingkungan. Kurun 5 tahun ini, atau setelah terbitnya UU Desa No.6/2014, desa telah diberi dana stimulan berupa dana desa. Ini peluang bagi desa dalam mengatur dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri sesuai aturan yang ada.

Desa-desa, kata dia, harus mampu menggali potensinya untuk mendatangkan PAD bagi desa. Jika ini dilakukan, desa akan berkembang dan maju, masyarakatnya sejahtera.

“Pemdes ibarat telapak tangan. Dia-lah menjadi penentu arah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Yang belum berdaya menjadi berdaya, yang masih miskin menjadi tidak miskin lagi. Dan empat prioritas penggunaan dana desa sangat tepat untuk kebutuhan masyarakat kita,”katanya.

Peran LKD menjadi sentral. LKD memainkan perannya dalam memberi usulan dan saran dalam perencanaan pembangunan dengan pelibatan masyarakat. Seperti dalam pengelolaan destinasi wisata. Mestinya, desa-desa jangan terus mengandalkan destinasi wisata  berbasis spot foto. Itu dapat bertahan hanya dalam tenmpo dua tahun, sesudah itu menjadi lesu.

“Sebaiknya mengandalkan wisata berbasis alam. Model destinasi ini akan bertahan lama. PAD desa terus mengalir,”kata Sutiyo.

Minat masyarakat era sekarang dalam berwisata, tidak lagi ke perkotaan. Mereka cenderung ke desa-desa. Berwisata di alam, dan menginapnya lebih ke home stay. Peluang ini mesti ditangkap oleh desa.

Seperti di Jepang. Dulunya ada salah satu desa yang tidak laku menjual buah melon. Padahal tanaman melonnya banyak sekali. Ini karena hanya tekstur dan baunya saja yang harum, tapi rasa melon tidak manis.

Singkat cerita, dilakukan perkawinan silang antar melon hingga beberapa kali percobaan dalam waktu yang lama. Alhasil, didapatkan varietas unggul dan rasanya sangat manis. “Kini, desa itu menjadi kaya dan sangat terkenal dengan buah melonnya. Bibitnya tak bisa dijual, kecuali buahnya. Cerita ini sangat penuh makna, bagaimana penduduk desa, pemdes, dan LKD bersusah payah melakukan perwakinan silang. Ini menjadi contoh bagi kita di Indonesia, tidak terkecuali di Jawa Barat,”.

Di Kabupaten Bandung, pemanfaatan hutan atau DAS Citarum dan anak sungai lainnya, bisa menjadi daya tarik untuk wisata. Desa-desa silakan memanfaatkan alam sebagai lokasi wisata baru. Di samping itu, desa wisata juga mesti dipadukan dengan desa digital. Karena, digital telah menjadi kebutuhan di era globalisasi sekarang.

Mendengar penjelasan dari kedua pemetari, peserta workshop sangat antusias untuk melakukan sharing. Mereka berharap penanganan pencemaran limbah Citarum lebih digencarkan lagi. Apalagi sungai ini telah menjadi ikon Jawa Barat dan khususnya bagi Bandung.

“Dulu kami masih bisa mandi-mandi di sungai. Sekarang sudah tidak lagi, karena baunya sangat tak sedap lagi. Termasuk pada perayaan 17 Agustus, sudah tidak ada lagi lomba balap perahu. Karena masyarakat tak tahan dengan bau sungai,”kata salah seorang kades dari Kabupaten Bandung.

Masyarakat sangat terbuka untuk menjaga lingkungan. Asalkan pemerintah juga memikirkan, bagaimana pola kepada pemberdayaan masyarakat dari sisi ekonomi, politik, dan sosial budaya.

(Ipenk/**)

Leave A Reply

Your email address will not be published.