Musda III MUI Provinsi Sulbar Usung Tema Moderasi Beragama
TELEGRAPH.ID, MAMUJU – Majelis Uluma Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) menggelar Musyawarah Daerah (Musda) ke-III di Hotel Pantai Indah Mamuju, Jumat (26/3/2021).
Musda mengusung tema penerapan moderasi beragama dan islam washatiyah.
Ketua Panitia, Nur Salim Ismail, mengatakan Musda ke-III MUI Sulbar akan menentukan kembali ketua baru untuk menggantikan Almarhum, KH Nur Husain, yang wafat di Madina saat melaksanakan ibadah umroh.
“Musda ini sejatinya dilaksanakan pada bulan September 2020, namun karena beberapa kendala dan terhalang oleh Munas MUI, termasuk daerah ini baru saja dilanda gempa bumu, sehingga baru dapat dilaksanakan,”kata Nur Salim Ismail.
Wakil Ketua MUI Pusat, KH Marzudi Syuhud, berharap Musda ke-III Sulbar merencanakan perubahan dalam rangka mamajukan organisasi MUI di daerah. Melihat mana yang cocok dan mana yang perlu diganti.
“Musda ini harus mempunyai harapan besar ke depan, jika tidak, organisasi ini akan mati, orang dua menit tidak punya harapan itu mati, karena itu menjadi sangat penting, berikan harap kepada masyarakat, buat dalam bentuk program satu tahun sampai lima tahun kedepan,”kata KH Marzudi Syuhur yang hadir langsung pada pembukaan Musda ke-III MUI Sulbar.
Dia meminta agar program akan dilakukan ke depannya dapat direncanakan mulai dari sekarang.
Kiyai Marzudi juga menekankan, Musda ke-III MUI Sulbar dapat memilih pimpinan yang pantas dan punya percaya diri.
“Percaya diri sangat penting bagi kita sebagai pimpinan MUI, bahwa kita sebagai MUI, bahwa kita sebagai ulama harus percaya diri, bagaimana bisa menyampaikan hukum kalau tidak percaya diri, bagaimana mereka (ummat) menerima hukum kalau yang memberi saja tidak percaya diri, makanya harus percaya diri,”imbuhnya.
Kemudian, siapa saja yang terpilih dan masuk dalam susunan harus mempunyai tanggungjawab.
“Tidak hanya minta dituliskan namanya dalam struktur setelah itu menghilang. Ini penting menjadi perhatian,”ucapnya.
Prinsip MUI, kata dia, adalah partner bagi pemerintah. Membangun bersama-sama, bukan untuk merusak.
“MUI harus tampil mengayomi ummat, hadir pada kepentingan ummat, itulah harapan kami sebagai wakil ketua umum pengurus pusat MUI,”tuturnya.
Musda turut dihadiri ketua DPRD Hj Suraidah Suhardi dan Kepala Kanwil Kemenag Muflih B Fattah serta para pimpinan Ormas Islam dan pimpinan Forkopimda.
Kanwil Kemenag Sulbar pun berharap MUI Sulbar berharap pelaksanaan Musda ke-III MUI Sulbar berjalan sukses dan melahirkan pemimpin yang dapat mengayomi ummat di daerah ini.
“MUI harus benar-benar hadir sebagai pelayan ummat dan mitra pemerintah dalam membangun kehidupan beragama yang lebih baik. Pemerintah dan MUI harus bergandengan dalam rangka mewujudkan apa yang dicita-cita oleh ummat islam,”kata dia.
Oleh karena itu, lanjutnya, Musda ini harus benar-benar dimanfaatkan untuk membahas apa yang menjadi persoalan ummat. Kemudian menjadi ruang artikulasi dan aspirasi serta wadah silaturahmi.
“Musda ini harus menjadi wadah pertukaran pemikiran dan pendapat dalam rangka meningkatkan partisipasi ummat,”ucapnya.
Ketua DPRD Sulbar, Hj Sitti Suraidah Suhardi, mengucapkan selamat dan sukses atas pelaksanaan Musda ke-III MUI Sulbar. Dia berharap sinergitas antara MUI dan pemerintah bisa terus terjalin.
“Selamat dan sukses atas pelaksanaan Musda MUI Sulbar yang ketiga. Semoga mendapat pemimpin yang amanah dan tentu saja semakin mencerahkan para pemuka agama di Sulbar dan tetap bersinergi dengan pemerintah,”tuturnya.(cr1).
Apa sih moderasi beragama itu?
Dikutip dari portal uin-antasari.ac.id yang ditulis salah seorang dosen Pada Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin, bahwa moderasi berasal dari bahasa Latin “moderatio”, yaitu ke-sedang-an artinya tidak lebih dan tidak kurang. Dalam bahasa Inggris, dikenal dengan “moderation” yaitu sikap sederhana, sikap sedang.
Dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata “wasath” atau “wasathiyah” yang sepadan dengan kata “tawassuth” artinya tengah-tengah, “i’tidal” artinya adil, dan “tawazun” artinya berimbang. Dari semua ungkapan ini maka moderasi merupakan sikap memilih jalan tengah, berusaha adil dan berimbang, dan tidak berlebih-lebihan.
Dengan demikian moderasi beragama dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil poros di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama.
Sayangnya istilah moderasi beragama ini sering disalahpahami. Moderasi sering diartikan kompromi keyakinan dengan agama lain, tidak sungguh-sungguh dalam beragama, tidak peduli dengan agama sendiri, bahkan dikatakan liberal, dan lain-lain. Padahal moderasi beragama merupakan sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai, sehingga tercipta toleransi dan kerukunan.
Istilah moderasi beragama memang baru di negara kita, namun dalam Islam sikap moderasi ini sudah lama adanya. Istilah moderasi dalam Islam dikenal dengan “wasathiyah”, bahkan umatnya mendapat julukan ummatan wasathan, yaitu menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Alquran surah Al-Baqarah ayat 143 menyebutkan: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas(perbuatan) kamu”.
Salah satu bentuk moderasi beragama yang ditunjukkan Islam adalah dengan memberikan kebebasan beragama. Ini dapat kita lihat pada Pasal 25 Piagam Madinah yang menyebutkan “bagi orang-orang Yahudi, agama meraka dan orang-orang Islam agama mereka.” Pasal ini memberikan jaminan kebebasan beragama. Piagam Madinah adalah suatu Piagam Politik yang dibuat oleh nabi Muhammad Saw tidak lama setelah beliau hijrah ke Madinah, digunakan untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat Madinah yang dihuni oleh beberapa macam golongan. Dalam Piagam itu dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antarakelompok, dan kewajiban mempertahankan kesatuan hidup bersama.
Di antara wujud kebebasan beragama itu adalah beribadat menurut agama masing-masing. Dalam kehidupan bersama itu, komunitas Yahudi bebas dalam melaksanakan agama mereka dan Islam menunjukkan toleransi terhadap agama lain. Kebebasan beragama yang ditetapkan dalam Piagam Madinah itu, tampaknya lebih dulu dari turunnya firman Allah: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingat pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali agama yang kuat yang tidak pernah putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah:256)
Kebebasan beragama itu tampak pula pada pertemuan tiga agama di Madinah, yaitu agama Islam, Yahudi, dan Nasrani. Dalam suasana kebebasan beragama diadakan dialog dan debat teologis antarpemuka agama dari ketiga agama itu. Pihak Yahudi menolak sama sakali ajaran Isa dan Muhammad Saw, mereka menonjolkan bahwa Uzayr adalah anak Allah. Pihak Nasrani mengemukakan paham trinitas dan mengakui Isa-lah adalah anak Tuhan. Muhammad Saw mengajak manusia mengesakan Tuhan. Kepada kaum Yahudi dan Nasrani, Muhammad Saw., mengajak: “Marilah kita menerima kalimat yang sama di antara kami dan kalian. Bahwa tidak ada yang kita sembah selain Allah. Kita tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Tidak pula di antara kita mempertuhan satu sama lain, selain Allah. Pertemuan tiga agama tersebut tidak membawa kepada kesatuan agama. Yahudi dan Nasrani tetap pada pendirian mereka. Muhammad Saw juga tidak memaksa untuk mengubah agama mereka. Muhammad Saw., hanya mengajak mereka meng-Esa-kan Allah.
Kemudian ketika bulan Januari 630 M atau Ramadhan tahun ke-8 H kota Mekah jatuh ke bawah kekuasaan Islam, dikenal dengan sebutan fath atau penaklukan par excellence. Muhammad Saw. menunjukkan kebesaran jiwa, keluasan pandangan dan sikap kasih sayangnya dengan memberikan amnesti umum kepada seluruh kaum musyrikin Quraisy, termasuk semua pemimpin mereka. Sejalan dengan kebijakan tersebut tidak seorang pun dipaksa masuk Islam. Konversi agama, tampaknya benar-benar diserahkan kepada kesadaran mereka.
Piagam Madinah yang berlaku pada zaman Rasulullah memuat ketentuan-ketentuan moderasi beragama yang menjadi dasar kerukunan hidup beragama. Artinya, para pemeluk agama yang berbeda harus hidup berdampingan secara damai. Agama yang berbeda tidak menjadi penghalang bagi kerukunan hidup di tengah masyarakat. Baik dalam beribadah sebagai individu maupun dalam berinteraksi sosial sebagai anggota masyarakat, Islam mengajarkan untuk selalu bersikap moderat.
Islam juga cinta damai. Alquran Surah An-Nisa ayat 114 menjelaskan “Tidak ada kebaikan dari orang-orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat baik, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” Perdamaian antara orang Islam dan bukan Islam diperbolehkan dengan berdasarkan ketentuan syariat. “Jika mereka merendah untuk berdamai, maka merendahlah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesunguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Anfal: 16). Nabi Saw. sangat giat dalam usaha kepada perdamaian.
“Al-diin al-mu’amalah (Agama adalah interaksi)” demikian Nabi Saw bersabda. Maksud beliau, keberagaman diukur dari interaksi. Semakin baik interaksi seseorang semakin baik pula keberagamaanya. Islam yang juga terambil dari kata yang sama “salam atau damai”, menuntut agar interaksi atau hubungan dengan siapa pun harus dilakukan dengan baik, damai, dan membawa kepada kedamaian. Demikianlah Islam dengan ajarannya sangat menganjurkan adanya kerukunan dan kedamaian di manapun dan kapanpun. Rukun dan damai adalah wujud esensi dari moderasi beragama, dan moderasi beragama atau ”wasathiyah” merupakan esensi dari ajaran Islam.(*)