Media Platform Baru Sulawesi Barat

Dukung Festival Sungai Tubo-Salutambung, Gubernur SDK: Pembangunan Harus Selaras dengan Kelestarian Lingkungan dan Budaya

0 45

 

TELEGRAPH.ID, MAJENE – Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sulawesi Barat, Rachmad, mewakili Gubernur Sulbar Suhardi Duka (SDK), membuka secara resmi Festival Sungai Tubo-Salutambung yang digelar di Muara Sungai Tubo-Salutambung, Kabupaten Majene, Selasa, 17 Juni 2025.

Festival ini bertujuan membangkitkan kesadaran kolektif warga dalam menjaga kelestarian Sungai Tubo-Salutambung serta merawat nilai-nilai historis yang membentuk identitas dan budaya masyarakat di sekitar bantaran sungai tersebut.

Digelar selama dua hari, 17–18 Juni 2025, kegiatan ini diikuti oleh warga Desa Salutambung dan Desa Tubo Poang, serta warga dari daerah terdampak aktivitas pertambangan pasir di Sulawesi Barat seperti Silaja, Karossa, Budong-Budong, dan Kalukku. Selain itu, festival juga melibatkan mahasiswa se-Sulawesi Barat, organisasi kemahasiswaan, LSM, NGO, komunitas peduli lingkungan dan agraria, sanggar seni dan budaya, serta pemerintah daerah Kabupaten Majene dan Pemerintah Provinsi Sulbar.

Festival bertajuk “Mattayang Tubo, Mattola’ Bala” yang berarti “Menjaga Hidup, Mencegah Bencana” ini bertujuan meningkatkan kesadaran pentingnya menjaga ekosistem sungai, memberikan edukasi sejarah dan budaya, serta memperkuat solidaritas antara warga, mahasiswa, dan pegiat lingkungan.

Dalam sambutannya, Rachmad menyampaikan apresiasi serta salam dari Gubernur Suhardi Duka yang berhalangan hadir karena agenda yang tidak dapat ditinggalkan.

“Beliau sangat ingin hadir secara langsung, namun karena tugas yang tidak bisa diwakilkan, beliau mengamanahkan kepada saya untuk menyampaikan pesan dan dukungan penuhnya terhadap kegiatan ini,” ujar Rachmad.

Menurut Gubernur SDK, tema yang diangkat dalam festival ini bukan sekadar slogan, melainkan jeritan nurani dan pernyataan sikap yang bersumber dari kearifan lokal leluhur.

Mattayang Tubo berarti menjaga hidup. Hidup di sini bukan sekadar napas, tetapi seluruh ekosistem yang menopang keberlangsungan kita. Sungai adalah sumber kehidupan, urat nadi peradaban. Bagi masyarakat Mandar, sungai adalah jalur budaya yang menghubungkan Pitu Ulunna Salu di pegunungan dengan Pitu Ba’bana Binanga di pesisir,” terang Rachmad.

Ia menambahkan, masyarakat Mandar mewarisi falsafah luhur: “Ma’dodo litak, ma’puhewa waie”, yang berarti “tanah adalah sarungmu, air adalah bajumu.”

“Filosofi ini mengajarkan bahwa alam adalah pakaian kehormatan kita. Merusak tanah dan air sama saja dengan menelanjangi diri dan merendahkan harkat yang diwariskan dengan perjuangan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa wilayah Tubo pernah menyandang gelar Daeng Mattayang atau Sang Penjaga, yang kini menjadi tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat.

“Hari ini kita menunjukkan bahwa semangat Daeng Mattayang masih menyala. Gubernur menegaskan bahwa pembangunan ekonomi harus selaras dengan kelestarian lingkungan dan keluhuran budaya. Pertumbuhan tidak boleh mencederai alam dan sejarah. Pemerintah akan berdiri bersama rakyat untuk menjaga kehidupan dengan melindungi setiap jengkal sungai ini, serta mencegah bencana dengan memastikan tidak ada aktivitas yang mengorbankan masa depan generasi mendatang,” tegasnya.

Rachmad juga memastikan bahwa ide dan pemikiran yang lahir dari festival ini akan menjadi bahan pertimbangan penting dalam setiap kebijakan pemerintah terkait lingkungan.

“Mari kita jadikan festival ini sebagai tonggak kebangkitan solidaritas. Mari rapatkan barisan dan satukan hati,” tutupnya. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.