Nur Salim Ismail
TAK biasanya beliau meluapkan keharuan dengan tangisan. Berpuluh tahun bergerak dijalan dakwah, baru kali ini beliau menampakkan tangisan itu, di hadapan halayak.
Beliau adalah KH. Nur Husain, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Barat, saat memberi sambutan dalam acara maulid bersama Warga Baruga, Ahad 17 November 2019.
Tangisan itu diluapkan saat beliau membincang kerinduan berjumpa dengan Nabi. Baginya, pada hakikatnya, tak ada yang bermimpi menjumpai Nabi. Sebab itulah titik haru pertemuan antara Nabi dengan umat yang dicintainya.
Sambil mengisahkan salam kecintaan Nabi saw kepada seorang warga Yaman, Uwais al Qarny, ulama kharismatik ini menitipkan pesan pamungkas.
“Sekiranya anda berjumpa dengan Nabi sebentar malam, jangan ungkap kemana-mana. Biarlah itu jadi rahasia hidupmu selamanya,” pesan beliau sambil menangis.
Menyaksikan hal itu, betapa kekuatan kerinduan sang Kiai, benar-benar terpatri dalam sanubari, untuk menjadi bagian dari kafilah para pecinta Nabi.
Adakah kita merasakan kerinduan serupa? Benarkah maulid itu diyakini sedang menghadirkan Nabi duduk serta di Majelis itu?
Dua pertanyaan ini cukup mengetuk ruang batin, bagi kita, para pencinta Kiai, sekaligus Umat Nabi Muhammad. Bahwa tak ada cinta bila tak ada rindu. Dan deraian air mata adalah tanda rindu menuju cinta.
Kiyai kharismatik itu kini telah dipanggil oleh Sang Khalik. Annangguru KH Nur Husain wafat di Madinah pada 19 Ramadan 1441 Hijriah. Sekitar pukul 01.00 malam waktu Madinah.
——–
Artikel ini telah ditulis oleh Nur Salim Ismail di Baruga pada 17 November 2019 lalu. Seorang muballigh muda yang pernah menimbah ilmu langsung kepada KH Nur Husain di Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga.