Media Platform Baru Sulawesi Barat

Corona dan Kita ”manusia” yang Lalai

0 1,043

Ketika matahari sedang mencapai ubun-ubun, sinarnya memanggang tubuh para pekerja, tukang parkir para tukang becak dan bentor, butiran-butiran keringat bercucuran menderas akibat gerah. Mobil angkutan umum berjejer rapi di sudut rimbun alun-alun, para supirnya saling berbagi keluh kesah tentang sepinya penumpang.

Jalan raya tampak sepi, hanya beberapa pengendara nampak memakai pakaian bersih rapi dan wangi, sajadah terselempang di pundak serta kopiah melingkar di kepala. Hari itu adalah Jum’at pertama sejak pemerintah mengeluarkan maklumat tentang pelarangan berkumpul, di rumah ibadah , sarana olahraga dan beberapa tempat lainya.

Himbauan itu sebagai bentuk responsif pemerintah bagaiamana memutus mata rantai penyebaran covid 19.

Di beberapa tempat, banyak orang nekat untuk tetap melakukan sholat Jum’at berjamaah, memaksa pemerintah harus turun tangan dan memberikan pemahaman tentang himbauan itu.

Banyak dari jamaah berupaya menolak bahkan marah-marah, mereka menuntut kesamaan, kenapa mesjid di tutup pasar juga tidak ikut di tutup pekik para jamaah. Meskipun sedikit di warnai ketegangan akhirnya para jamaah membubarkan diri dengan tertib.

Menurut hemat saya, mendirikan sholat bisa dimana saja, asal jangan di atas kompor ibu-ibu, di dalam toilet, di tempat kotor di atas atap dan di jalan raya. Nanti terbakar, terpeleset, terjerembab, dan di lindas kendaraan. Mendirikan sholat bisa dibrumah, bersama dengan anak istri mengelar sajadah, di akhir sholat memanjatkan Do,a bersama kemudian mendaratkan kecupan kasih kepada anak dan istri.

Mencoba menakar bijak atas tuntutan para jemaah yang mencoba membanding-bandingkan antara masjid dan pasar. Kalau pasar ditutup, apakah tuntutan itu sudah melalui proses berfikir manusiawi? Bagaiamana keberlanjutan hidup mereka para pedagang kecil, pedagang tomat, cabe, sayur mayur dan pedagang buah skala kecil yang hidupnya di gantungkan pada dagangan yang mudah membusuk itu.

Secara tidak sadar sebenarnya kita pun bergantung kepada mereka tentang suplay bahan pokok yang kita nikmati sehari-hari. Lezatnya bau piapi, beningnya sayur kol, hangatnya sara,ba. Itu semua kalian dapatkan dari mereka yang tak tidur di waktu larut ketika kalian tertidur pulas dalam dekapan selimut.
Menutup pasar berarti menyisipkan sengsara sesama orang kecil.

Sedikit beruntung yang tingal di desa mereka mungkin memiliki sepetak tanah agar tetap hidup beberapa waktu kedepan. Apa bila niat itu tetap di kukuhkan, maka pemerintah harus tampil kedepan dan berani mengambil resiko agar ketersediaan pangan bagi mereka pedagang kecil tetap terjamin sampai suasana kembali kondusif.

Kembali pada soal awal tentang pelarangan atau himbauan pemerintah agar tidak melakukan satu kegiatan yang membuat perkumpulan, seperti sholat Jum’at berjamaah. Seyogyanya, pemerintah sedang tidak melarang kita untuk mendirikan ibadah tetapi melarang perkumpulan. Mengapa hanya mendirikan sholat menjadi soal besar?. Agama sama sekali tidak memberatkan pemeluknya. Kalau dalam keadaan sakit maka agama membolehkan untuk duduk, kalau duduk tak sanggup maka berbaring juga boleh, kalau berbaringpun tidak sanggup maka isyarat adalah jalan terakhir. Mengapa kita gemar mengencet agama pada ruang praktek padahal sesungguhnya ia longar.

Beberapa hari yang lalu dalam sebuah WhatsApp group, salah satu teman berbagi Vidio pendek berdurasi dua menit tiga puluh detik. Vidio itu bercerita tentang perjalanan syiar agama Umar bin Khattab menuju Damaskus, di tengah perjalanan ia di cegat oleh rombongan dan memberitahukan bahwa telah terjadi wabah dan merenggut banyak nyawa, setelah berunding lama maka Umar bin Khattab memutuskan untuk kembali ke Madinah.

Di beberapa cerita saya juga pernah mendengar, bahwa pernah suatu ketika Rasulullah Saw meminta kepada muadzin agar menyerukan kepada penduduk agar sholat di laksanakan di rumah masing-masing akibat hujan lebat melanda. Bayangkan saja ini tentang syiar agama seorang sahabat nabi yang secara Amaliah di percaya sebagai ladang pahala terpaksa harus di tunda akibat wabah. Dan hanya soal hujan deras saja Rasulullah Saw menganjurkan untuk sholat di rumah apa lagi bersangkutan wabah covid 19.

Dengan mencerna intisari kisah diatas mestinya ia menjadi pelajaran besar, bahwa menghindari bahaya lebih utama sebelum mendirikan ibadah. Tapi mengapa kemudian banyak orang yang ngotot untuk tetap menggelar sholat Jum’at berjamaah?. Apakah di dalam diri kita sudah melebihi alimnya seorang Rasulullah Saw dan Umar bin Khattab?.
Dan juga perlu diindahkan bersama majelis ulama Indonesia (MUI), tidak melakukan himbauan biru tanpa melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang bahkan mungkin saja di landasi hadits shohih. Adakah kita menganggap majelis ulama Indonesia tidak memahami konteks itu? Atau menganggap bualan belaka?.

Sekali lagi narasi larangan itu bukan pada pelarangan melaksanakan sholat tetapi perkumpulanya yang di larang.
Di dalam surah Al Baqarah ayat 115 Allah SWT berfirman:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah, sesungguhnya Allah maha luas(Rahmat-Nya) lagi mengetahui”
Dengan intrepetasi yang sangat awam ini, saya beranggapan bahwa dalam tarikan nafas saja adalah ibadah ketika ia di barengi dzikir, menatap langit sembari mengucap ke kaguman pada Dzat penciptanya juga adalah ibadah. Tapi entah mengapa ibadah hanya di maknai pada selembar sajadah dan berkilaunya marmer masjid.

Covid 19 ini harusnya menjadi sebuah medium untuk semakin berfikir dan bertindak bijak. Manusia mesti sadar bahwa dunia fana ini adalah labirin penuh teka teki, maka pecahkanlah ia dengan perangkat ilmu ketuhanan. Wabah ini juga sedang membuang kita pada setiap centimeter ruangan agar bisa lebih mengenal DIA-sang pencipta. Persis seperti petapa seperti seorang sufi menghendaki keheningan agar ruang meditasi memesrai sang pencipta lebih longgar.

Covid 19 seakan menjadi penunjuk jalan setelah sekian lama manusia hidup dalam keterasingan, hidup dalam keramaian tapi gersang kemanusiaan. Wabah ini membimbing kita wadah tentang pentingnya kasih sayang, kasih sayang kepada manusia dan kasih sayang kepada alam.

Corona hadir untuk mengubah narasi ke-aku-an menjadi kita, menunjukkan betapa lemahnya manusia tanpa satu sama lain, menisbahkan kepada kita mari beranjak dari keterasingan dan keindividualan akut ini, kita adalah Khalifah Tidak sepantasnya menjadi biang kerusakan dan memperkokoh permusuhan.

LIAR. 13/04/2020

Oleh: Hamza Zambora Kordiv local culture and knowledge di Lembaga Inspirasi dan Advokasi Rakyat (LIAR) Sulbar

Leave A Reply

Your email address will not be published.