TELEGRAPH.ID, POLMAN – Siang itu, pada medio Mei 2021, langit tengah mendung. Terik matahari sedikit menyengat. Belakangan, hujan datang jelang siang hari. Tapi hari itu, cuaca berkata lain.
Di suatu rumah, Erfian Bambang sedang menikmati siang itu. Panas tapi sejuk. Dia tertidur lelap. Semalam, Erfian begadang menyupiri penumpang dengan mobilnya. Sejak jadi sopir, hari Erfian berbolak-balik: siang adalah malam dan malam adalah siang. Gawai, senjata pamungkas miliknya diselip di balik bantal.
Saban hari, Erfian melesat ke Makassar dari Polewali Mandar. Di Makassar, dia akan angkut penumpang tujuan Polman. Jarak dua kota ini, terpaut 5 jam. Guncangan jalan bikin tubuhnya lelah.
Di tengah lelapnya, dering gawainya berbunyi, menyentak tidur Atos, sapaan karib Erfian.
“Berangkat ki sebentar?” tanya seseorang di ujung telefon.
“Iye,” kata Atos.
“Jemput ka na. Tiga orang ka sama.”
“Iye, habis magrib saya jemput ki.
Suara itu adalah langganan Atos. Dia senang bukan main, meski mendapat penumpang adalah kesenangan di tiap hari. Dia tak pernah bosan. Setengah sadar, Atos mematikan telefon dan segera bersiap.
Atos menuju teras, tempat mobilnya terparkir. Bak sebuah ritual, membersihkan mobil sebelum melaju adalah hal wajib. Kenyamanan penumpang di atas segalanya.
Bagi Atos, hari ini sungguh istimewa. Dia ingat sebuah momen di tahun lalu.
Sejak 12 tahun “mengaspal”, dia harus gantung stir. Setahun lalu, sebuah virus yang merontokkan sendi ekonomi muncul dan jadi pandemi, Covid-19. Virus ini menyebar dengan memanfaatkan pergerakan manusia sebagai inang virus. Maka, perkumpulan manusia dibatasi. Termasuk, berpindah tempat ke tempat lain.
Atos, tahu tranportasi daerah salah satu sumber virus itu bisa menyebar. Atos putuskan berhenti, pada Maret 2020, ketika pembatasan sosial digalakkan di penjuru tanah air. Praktis, dia menganggur dan mobil kesayangannya hanya diam.
Namun hal itu tak membuat Atos menghardik keadaaan, atau lari mencaci kebijakan di sosial media. Sekali lagi Atos tak patah arang.
Atos lekas banting stir, mencoba tetap keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Saya ikut bantu kerjaan Kakak saya,” kata Atos.
Bila sebelumnya, penumpang Atos adalah manusia, tiga bulan selanjutnya, penumpang Atos adalah barang. Dia menjadi semacam kurir. Pendapatannya bagus. Sepadan dengan keletihan yang dia tenggak.
Semula, Atos merasa berat. Tapi dia hanya belum terbiasa. Lama-lama, Atos senang juga.
Bagi Atos, larangan untuk tidak melakukan aktivitas, sangat adil. Meski, dia adalah kelompok profesi yang terhantam telak dari dampak virus ini. Baginya, larangan itu wajib, agar semua orang, termasuk Istri dan tiga anaknya yang kerap menanti kepulangannya, sehat.
“Tapi, ya mau bagaimana lagi,” seloroh Atos.
Setahun telah berlalu, rutinitas Atos telah kembali dilakoni. Namun dengan berbagai catatan. “Dulu itu penumpang 7 orang sekarang saya batasi, hanya lima orang,” ungkapnya.
Kata Atos, sebelum pandemi melanda, bangku penumpang bisa buat tiga orang. Kini hanya dua orang. Ia juga memastikan penumpang yang naik tidak sedang sakit, atau demam, dan tentu, mengikuti protokol kesehatan.
“Satu di samping supir, dua ditengah dan dua di kursi belakang,” terangnya.
Penumpang berkurang berarti pendapatan akan berkurang. Terpaksa, Atos menaikkan tarif sewa. Untungnya, penumpang maklum.
Memulai rutinitas kerja dengan situasi dan kondisi yang berbeda memang membuat semua kembali nol. Apalagi, tak sedikit langganan yang dulu sering menyewa, ikut pula terhenti. Namun, sekali lagi Atos tak patah semangat. “Saya harus jalani ini.”
(ILU)